“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Begitu salah satu kutipan dalam sebuah poster film berjudul Gie yang diperankan oleh Nicholas Saputra. Gie, yang dimaksud dalam film ini adalah Soe Hok Gie, seorang mahasiswa idealis yang tulisan-tulisan kritisnya biasa dimuat di Kompas. Catatan Seorang Demonstran, yang berisi catatan harian Gie turut berpengaruh sampai sekarang—setidaknya di kalangan aktivis gerakan mahasiswa.
Kiprah
mahasiswa sejak lama sudah ada. Dari luar negeri ada Perhimpunan
Indonesia. Di dalam negeri ada kelompok Budi Utomo. Dalam
perkembangannya, berbagai elemen berdiri (baik yang nasionalis atau
berbasiskan agama). Pada Reformasi 98, gerakan mahasiswa menemukan
momentumnya lagi (pasca 1966) untuk berkonsolidasi. Kekuasaan Orde Baru
diruntuhkan yang dimotori oleh gerakan mahasiswa dengan berbagai elemen
rakyat. Namun pasca Reformasi, tampaknya mahasiswa menjadi “kehilangan
arah” hingga saat ini. Pada akhirnya, gerakan mahasiswa lebih berfokus
pada isu-isu lokal kampus atau daerahnya.
Bagaimana
gambaran ideal seorang aktivis mahasiswa? Dulu performa mahasiswa
digambarkan sebagai berikut: buku, pesta, dan cinta. Seorang aktivis
digambarkan sebagai mahasiswa yang suka membaca buku, mendiskusikan,
atau bahkan mengkritiknya. Begitu
juga pesta tidak ketinggalan. Cinta juga begitu. Seorang aktivis tidak
lengkap saat itu kalau tidak bergelut dengan dunia buku, pesta, dan
cinta. Namun, sejenak kita berpikir: apakah itu gambaran ideal seorang
aktivis? Rasanya tidak juga. Lantas, bagaimana gambaran idealnya?
Setidaknya,
mahasiswa ideal saat ini tidak bisa kita pisahkan dengan tiga hal,
yaitu buku, berorganisasi dan kemandirian. Ketiga hal ini memiliki
pengaruh yang besar bagi seorang mahasiswa. Mereka yang rajin membaca,
pastinya akan tercerahkan pemikirannya, dan logis. Mereka yang
berorganisasi juga akan terbangun jiwa kepemimpinannya, begitu juga
relasinya akan bertambah banyak. Dan, mereka yang mencoba hidup mandiri
akan lebih terbangun sikap positif, percaya diri dan ini berpengaruh
banyak kelak ketika mereka sudah tamat.
Pertama,
Buku. Mahasiswa ideal adalah mahasiswa yang berkawan dengan buku.
Sebuah pepatah mengatakan, “sebaik-baik teman duduk sepanjang waktu
adalah buku.” Ya, dengan buku seseorang dapat menjamah dunia yang jauh
secara geografis. Wawasannya akan luas. Kalau ia berkomentar dalam
sebuah forum, komentarnya lebih berisi, tidak “lari ke sana ke mari.”
Itu karena pemikirannya telah terstruktur, dan logis.
Kedua,
Organisasi. Orang sosiologi menyebut manusia sebagai makhluk sosial.
Artinya, kehadiran manusia di muka bumi ini tidak bisa dilepaskan dari
manusia lainnya. Maka manusia membutuhkan kawan. Organisasi adalah wadah
untuk bersosialisasi, atau wadah untuk mengembangkan keterampilan. Para
pemimpin di tingkatan yang lebih umumnya aktif dalam organisasi.
Mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa ini mutlak perlu berorganisasi.
Ketiga,
Mandiri. Mau tak mau, semua manusia akan hidup sendiri. Setidaknya akan
berpisah dari orang tuanya. Maka mau tak mau ia perlu menumbuhkan sikap
mandiri. Program kewirausahaan mahasiswa baik sekali untuk
dipraktekkan. Problemnya saat ini banyak aktivis mahasiswa yang malas
untuk berusaha. Mereka tidak berjiwa entrepreneur.
Lebih suka mencari beasiswa ketimbang berpikir bagaimana memanfaatkan
waktu kosongnya untuk mendapatkan laba dari keringatnya sendiri.
Mendapatkan beasiswa itu baik, namun jiwa petarung yang siap untuk
mandiri juga perlu ditumbuhkan sejak mahasiswa.
Ketiga
hal di atas jika dipraktekkan dengan baik, bolehlah kita sebut sebagai
“living student” atau mahasiwa yang benar-benar hidup. Atau
sebenar-benar mahasiswa. Bagaimana dengan mahasiswa kita saat ini?
HIDUP MAHASISWA !!!
HIDUP RAKYAT !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar